Monday, May 14, 2012

#31 Latar Belakang Pendidikan.

1. Taman Kanak-Kanak (Raudhatul Athfal).

Saya tidak ingat secara pasti apakah saya secara resmi masuk TK ataukah tidak, sebab kalau melihat umur yang standar bagi anak TK adalah 6 tahun kebawah, sedangkan ketika umur saya dibawah 6 tahun, seingat saya di desa Tenggulun belum ada TK yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah. Tetapi yang saya ingat pada masa-masa umur itu saya sudah belajar dengan menggunakan sabak (alat tulis yang berfungsi sebagai buku, bentuknya seperti papan tulis hitam, tetapi kecil terbuat dari bahan kayu) dan gerib (alat tulis yang berfungsi sebagai pencil bentuk seperti pensil tetapi terbuat juga dari batu yang bisa patah dan bisa dipecah menjadi kepingan yang lebih kecil, disebut juga sebagai batu tulis).

Materi pelajaran yang diajarkan pada saat itu adalah :

    1. Menulis huruf hijaiyyah (A, Ba, Ta, Tsa) dan seterusnya.
    2. Menulis huruf abjad latin (A, B, C, D) dan seterusnya.
    3. Belajar berhitung dan tulis angka (1,2,3,4) dan seterusnya.
    4. Belajar Menggambar.

Adapun belajar membaca Alquran diajarkan melalui Muqoddam (turutan) yang dalam muqoddimahnya ada cara belajar Alquran menurut cara Al Baghdadi.

2. Ibtidaiyah (Sekolah Dasar).

Untuk tingkatan ibtidaiyah (sekolah dasar), akan saya bagi menjadi dua bagian :

1. Kelas I, II dan III.

Masa-masa ini diantara yang paling mengesankan dalam hidup dan kehidupan saya, dimana pada saat itu ayah saya sebagai tokoh yang pertama kali membawa pemahaman Muhammadiyah ke desa Tenggulun bersama kakak iparnya, telah berhasil membuat dan mendirikan madrasah sendiri, yang kalau tidak salah pada saat itu dinamakan sebagai MIM (Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah).

Madrasah ini didirikan diatas sebidang tanah bekas rumah ayah dan ibu sebelum pindah ke selatan (rumah yang ada sekarang), bangunannya sangat sederhana dan bukan permanent terbuat dari bongkotan (bagian paling bawah dari pohon bambu yang sudah tua).

Di madrasah inilah saya mulai ada semangat dan memiliki ghirah yang tinggi untuk belajar, karena pada saat itu saya sangat bersimpati dengan ustadz-ustadz dan ustadzah yang mengajar beliau-beliau bersemangat sekali mengajar kami.

Pada saat itu, terpaksa mengambil ustadz dan ustadzah dari luar, karena ketika itu belum ada seorangpun dari putra/putri Tenggulun yang ikut Muhammadiyah memiliki kemampuan mengajar, sebab organisasi ini belum begitu lama masuk ke Tenggulun, ustadz dan ustadzahnya diambil dari desa Tebluru, desa tetangga yang terletak di sebelah barat Tenggulun kurang lebih 2.5 km, adapun nama para pengajarnya antara lain yang saya ingat bapak Ali dan istrinya, bapak Fathurrahman, bapak Syakur, dan yang lainnya.

Beliau-beliau inilah termasuk orang-orang yang berjasa besar terhadap diri saya, dengan ketekunan, kesabaran dan mujahadah merka, membimbing, mengajarkan dan mendidik saya bisa, sehingga saya bisa mulai mengenali Allah swt, Rasul-Nya saw dan mengenal Islam, berdasarkan dalil-dalil yang sederhana, misalnya dengan membaca bersama-sama suatu hadits sebelum hari-hari pelajaran dimulai seperti

hadits berikut :

“Rodhitubillahi robba wabil Islaamidiina, wabil Muhammadin Nabiyya wa Rasuulan”

Artinya : “Aku ridho Allah sebagai Tuhanku dan Islam sebagai agamaku dan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul.”

Kemudian mereka juga membimbing saya dan teman-teman sekolah agar seluruh perbuatan baik, sebalum mengerjakannya mesti diawali dengan bacaan “Basmalah”, sehingga diantara ustadzah mengajarkan nasyid-nasyid yang bersifat tarbawi (mendidik), sampai sekarang alhamdulillah sebagian masih saya ingat antara lain,

Bismillah kita berangkat ke sekolah.
Menuntut ilmu yang berfaedah.
Siang dan malam tak kenal lelah.
Ke madrasah Muhammadiyah.
Reff. Agar kelak menjadi orang yang berguna dan berbahagia dst.

Nasyid ini sempat saya ajarkan kepada anak-anak saya (Asmaa’, Zaid, Balqis dan Hannah, Khubaib belum saya ajarkan karena masih kecil dan anak-anakku setelahnya juga belum karena belum lahir) tetapi dengan mengganti kata-kata Muhammadiyah dengan kata Islam nan Jaya.

Ustadz-ustadzah itulah yang mulai mengenalkan dan mengajarkan saya tentang Tauhid dan Syirik serta perbedaannya berdasarkan dalil-dalil, demikian juga tentang Sunnah dan Bid’ah.

Merekalah yang mengajarkan kepada saya awal mula tentang akhlak mahmudah (terpuji) yang mesti diikuti dan akhlak madzmumah (tercela) yang wajib dijauhi dan dihindari.

Mereka jugalah yang menjadikan saya mahir membaca dan menulis, menghitung, bermain terutama bola kasti dan sebagainya. Tentunya semua itu adalah meneruskan asas-asas yang telah ditanamkan orang tua sebelumnya. Jasa mereka, kesungguhan dan mujahadah mereka, ketekunan dan kesabaran mereka sungguh saya hargai.

Namun saya tidak dapat membalas apa-apa melainkan dengan ucapan Jazaakumullah khoirol jazaa, mudah-mudahan Allah swt membalas segala jerih payah ustadz dan ustadzah dengan sebaik-baik balasan.

Dan saya tak lupa juga selalu mendoakan ustadz dan ustadzah agar Allah swt senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat kepada mereka dan sudi membimbing mereka untuk tetap dan bisa menggabungkan diri dalam golongan Ash-Shodiqun (orang yang benar), yaitu para Al-Anbiya., Ash-Shiddiqin, Asy-Syuhada, dan Ash-Sholihin, serta mengakhiri hidupnya dengan khusnul khotimah.

Program belajar dan mengajar tersebut diatas berjalan kira-kira satu atau dua tahun, saya tidak dapat mengingat dengan tepat, pengurus madrasah berkeinginan mendatangkan guru (ustadz) yang bisa tinggal di Tenggulun, sehingga pada malam harinya bisa membimbing anak-anak untuk mengaji Alquran dan mengkaji ulang pelajaran-pelajaran di kelas, karena selama ini belum ada ustadz-ustadzah dari Tebluru yang setiap malam datang ke Tenggulun, sebab keinginan tersebut dirasakan kurang bijak, karena untuk mengajar ke Tenggulun pada siang hari saja harus berjalan kaki cukup jauh.

Maka akhirnya pengurus madrasah mendatangkan seorang ustadz dari Paciran yaitu ustadz Subhan, alhamdulillah dengan hadirnya beliau, maka program di musholla di Tenggulun waktu itu semakin giat dan baik, khususnya untuk malam hari karena ustadz Subhan setiap malam membimbing para pelajar untuk mengaji dan menghafal Alquran, selain itu beliau juga mengajar kami di sekolah pada siang harinya.

Sungguh beliau telah banyak berjasa besar terhadap diri saya, dengan ketekunan dan kesabarannya meskipun pada waktu itu masih belum berkeluarga, membimbing dan mentarbiyah saya dan malamnya di musholla dengan berbagai amalan Islami, mulai dari sholat berjamaah, mengaji Alquran, puasa, berdo.a, berdzikir, menghafal do.a-do.a dan lain sebagainya.

Mudah-mudahan amal baik beliau, mengajar, mendidik dan membimbing saya ke jalan yang benar dibalas oleh Allah swt, dengan balasan yang baik, semoga beliau tetap mendapatkan rahmat dan nikmat dari Allah swt, dan sudilahkiranya Allah swt membimbing beliau utnuk tetap dan dapat menyertai bahtera para Anbiya’, Ash-Shiddiqin, Asy-Syuhada. dan Ash-Sholihin.

Perlu juga saya catat disini bahwa ketika saya duduk di kelas I, II dan III MIM, sayajuga merangkap di SDN (Sekolah Dasar Negeri) di Sugihan, karena mengikuti jejak langkah kakak Muhammad Khozin, jadi kalau pagi ke SD dan kalau sore di MIM atau sebaliknya, di MIM tekanannya pada pelajaran-pelajaran diniyyah, sedangkan di SD pelajaran-pelajaran umum, yang saya paling terkesan ketika belajar di SD adalah sewaktu duduk di kelas III ketika itu guru tetapnya adalah pak Mutasam, beliau telah berjasa menddidik saya terutama dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, berhitung, bahasa Indonesia, bahasa daerah, IPA, IPU dan lain sebagainya, mudah-mudahan jerihpayah beliau dibalas oleh Allah swt dengan balasan yang setimpal.

Perjalanan nglaju jalan kaki dari Tenggulun ke Sugihan untuk berangkat sekolah sejauh 2.5 km melewati jalan short-cut (pintas), sebab kalu melalui jalan besar agak jauh jaraknya karena mesti melalui desa Tebluru sekitar 4 km, dari Tenggulun ke Sugihan, dalam perjalanan hilir mudik ke sekolah banyak sekali kenangan dan pengalaman, namun rasanya kurang penting untuk saya tuliskan disini, biarlah saya simpan di saku saja.

Ustadz Subhan berada di Tenggulun kira-kira selama 1-2 tahun, lalu beliau meninggalkan Tenggulun karena ada tugas lain, kemudian pengurus mencari pengganti beliau, lalu mendapatkan seorang ustadz dari daerah kidulan (sebelah selatan sungai Solo) atau daerah kulonan (Laren ke barat) kalau tidak salah dari daerah Centini yaitu ustadz Thoha Yasin.

Belum berapa lama beliau berada di Tenggulun, mulailah angina Golkar menerpa Tenggulun, karena kebetulan tokoh Muhammadiyah di Tenggulun adalah pegawai pemerintah, ketika itu ayah saya sebagai carik demikian juga kakak iparnya.sebagai kepala desa, sehingga beliau berdua termasuk yang menyambut positif kehadiran Golkar di Tenggulun –mudah-mudahan Allah swt mengampuni dosa-dosa dan kesalahan beliau semua-.

Dengan kehadiran Golkar karenasalah satu program pendidikannya adalah mempersatukan antara Muhammadiyah dan NU maka dibentuklah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam), maka dengan munculnya GUPPI di Tenggulun tamatlah riwayat Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) yang banyak jasa dan kenangan itu, dan meleburlah seluruh murid MIM, kecuali satu–dua anak yang meneruskan di SDN Sugihan.

Hadirnya GUPPI di Tenggulun ditingjau dari satu sisi sebagai musibah, karena membuat semua materi palajaran, terutama materi-materi diniyah seperti Aqidah, Fiqih, Tafsir dan lain sebagainya mengambang tidak tentu arah, yang jelas arahnya tidak seratus persen kepada kebenaran sesuai Islam atau Alquran dan As-Sunnah tetapi sebagiannya disesuaikan dengan selera hawa nafsu pimpinan program GUPPI atau sang bos, di plintar-plintir dan dibengkokkan, lain halnya dengan MIM atau bahkan madrasah milik NU sendiri, karena prinsipnya jelas, arah kajiannya jelas baik aqidah, fiqih dan sebagainya.

Misalnya MIM memiliki kurikulum materi aqidah yang mengacu kepada Aqidah Salaf yang diikuti oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm dan Syaih Muhammad Ibnu Abdul Wahhab rhm meskipun masih banyak kekurangan dan penyelewengan, sedang Madrasah Ma.arif (NU) mengacu atau mengikuti Asya.irah atau Asy.ariyah, pemahaman yang diikuti oleh Imam Al Asy’ari, Imam Al Ghozali dan sebagainya.

Adapun dari segi positifnya ukhuwwah Islamiyah bisa dijalin kembali, mungkin yang tadinya sudah kelewat batas yang mana kedua belah pihak saling bermusuhan yang satu menganggap yang lain sebagai musuhnya padahal sama-sama Islam, tetapi anehnya musuh yang sebenarnya malah tidak dianggap sebagai musuh, dengan adanya penggabungan ini maka mereka bisa rujuk kembali untuk tidak saling bermusuhan.

Saya termasuk yang menjadi korban peleburan dan penggabungan ini, secara otomatis seluruh kurikulum berubah, belum lagi ustadz-ustadznya yang tidak berani menerangkan satu bahasan secara gamblang dan jelas, karena masing-masing terpaksa harus mentolerir pemahaman yang lain, menjaga hati dari para guru yang back-groundnya berlawanan (NU vs Muhammadiyah).

Yang NU tidak berani menerangkan sesuai dengan yang mereka fahami karena khawatir murid-murid yang dari Muhammadiyah tersinggung dan lebih takut lagi kalau ada keterangan yang menyinggung di laporkan kepada ustadz-ustadz yang dari Muhammadiyah, maka antar ustadz boleh jadi akan saling sikut, demikian juga yang terjadi dengan pihak Muhammadiyah, mereka tidak berani menerangkan sesuai prinsip kebenaran yang diyakini karena khawatir menyinggung dan seterusnya.

Maka sampailah hari peleburan MIM dan Ma.arif menjadi GUPPI, murid-murid MIM terpaksa boyongan untuk menggabung ke Ma’arif, karena pada waktu itu Ma.arif bangunannya sudah permanent dan muridnya lebih banyak, sayapun terpaksa meninggalkan SDN Sugihan, karena bersamaan waktunya sehingga salah satu mesti ditinggalkan.

No comments:

Post a Comment