Pada suatu hari beliau hendak pergi dari Tenggulun ke Sendang untuk mencari karunia Allah (kalau tidak salah beliau mengurus barang dagangan), maka pergilah beliau bertiga (ayah, adik ipar ayah yaitu Abu Sufyan, beliau sudah meninggal dan paman ayah Abdul Mu’thi), begitu mereka sampai di desa Bango, utara desa Tenggulun sekitar 3 km, mereka berhenti sejenak untuk menyepakati apakah akan berjalan terus melalui perempatan atau belok ke sebelah kanan, hal ini dilakukan karena mereka mengalami kekhawatiran kalau-kalau di perempatan telah di hadang oleh Belanda.
Tetapi hal tersebut belum menjadi informasi yang diyakini, baru sebatas firasat atau kekhawatiran semata, sehingga tidak semua dari mereka bersepakat untuk mengambil jalan belok ke kanan, sebab jaraknya menjadi bertambah jauh sekitar 4-5 Km, karena desa Tenggulun menuju desa Sendang jalannya lurus dan mesti melalui perempatan tersebut, jika mengikuti jalan normal kira-kira hanya 4-4.5 jam tetapi jika di tempuh melalui jalan desa Bango-Payaman-Pelirangan jaraknya akan berlipat ganda jauhnya.
Karena pertimbangan jarak dan informasi keberadaan tentara Belanda tidak diperoleh secara pasti, maka dengan demikian paman Abdul Mu’thi enggan untuk berjalan melalui jalan yang lebih jauh jaraknya, maka keputusannya ayah dan iparnya belok ke kanan, melalui desa Bango, sementara beliau nekad terus melalui perempatan tersebut, belum sampai setengah jam terdengar oleh ayah suara tembakan dari arah perempatan, ayah yakin benar bahwa suara tersebut adalah suara tembakan tentara kafir Belanda yang diarahkan kepada pamannya – sebab diantara kebiasaan pengecut Belanda, adalah mencurigai siapa saja yang tampangya gagah, ganteng dan berpendidikan, maka dianggap sebagai musuh, mereka begitu kecut, jangan-jangan orang seperti ini adalah tentara yang menyamar, sedangkan paman abdul Mu’thi, seperti kata ayah, tampanngya gagah, ganteng dan tegap, karena itu Belanda tidak memberikan kesempatan padanya sama sekali.
Ayah dan iparnya akhirnya memutuskan utnuk mengurungkan kepergiannya dan terpaksa kembali ke rumah desa Tenggulun dengan membawa berita kejadian yang belum pasti, apakah benar yang ditembak adalah pamannya, tetapi tentang keberadaan tentara Belanda kafir tersebut memang sudah pasti, namun pada waktu itu tidak mungkin dapat segera memastikan, sebab tentara Belanda masih menunggu di sana, bahkan sengaja ditunggu dengan tujuan untuk membunuh keluarga dan sahabatnya yang lain. maka terpaksa ayah menunggu sampai tentara kafir yang najis lagi kotor itu meninggalkan tempat tersebut.
Setelah kurang lebih 2-3 minggu barulah mereka meninggalkan tempat tersebut, peluang ini tidak disia-siakan oleh ayah, maka berangkatlah ayah mengajah iparnya (Abu Sufyan) untuk mencoba berusaha mencari jenazah pamannya jika memang telah terbunuh, begitu sampai di tempat kejadian, beliau mencari kesana-kemari tidak namun tidak menemukan jenazah tersebut, tiba-tiba terlihat beberapa ekor anjing di tengah-tengah sawah yang dipenuhi tanaman padi, sepertinya, sedang memperebutkan sesuatu maka beliau mencoba untuk menghampirinya ternyata benar sebagaimana yang diduga bahwa anjing tersebut sedang memperebutkan tulang-belulang manusia.
Karena ayah dan iparnya meyakini bahwa tidak ada orang lain yang dibunuh oleh si kafir tersebut selain pamannya, maka yakinlah bahwa tulang belulang itu adalah tulang belulang pamannya, karena itu beliau mulai memungutnya, satu persatu tulang yang ada, kemudian di bawalah kembali ke Tenggulun seterusnya di kuburkan – mudah-mudahan, beliau tercatat sebagai syahid fi sabilillah.
Kisah tersebut begitu sering disampaikan ayah kepada anak-anaknya termasuk saya –wallahua’lam- apa tujuan dan maksud di balik keinginan beliau menceritakan kisah tersebut.
Next on 5/12/2011
No comments:
Post a Comment