Monday, February 6, 2012

LATAR BELAKANG LINGKUNGAN: Situasi Desa

Saya dilahirkan dan dibesarkan di sebuah desa kecil yang bernama Tenggulun yang sekarang ini sedang melejit namanya di seantero dunia, nama Tenggulun kata orang tua diambil dari nama sebuah pohon yaitu Trenggulun, pohon Trenggulun adalah sejenis pohon yang besar daunnya seperti pohon Imbo (di Arab Saudi banyak phon Imbo, katanya disana disebut dengan Syajarah Soekarno (pohon Soekarno) sebab asalnya dari Indonesia –wallahu a.lam-), sebenarnya orang Tenggulun sendiri tidak menyebut pohon tersebut dengan pohon Trenggulun tetapi lebih sering menyebutnya dengan nama pohon “Jenang”, apa rahasia di balik itu saya kurang mengetahui tetapi kebanyakan orang di luar Tenggulun kalau tidak salah menyebut pohon tersebut pohon Trenggulun.

Kemudian kenapa atau bagaimana proses selanjutnya yang asalnya Treng, kemudian menjadi Teng, hal ini saya tidak mengetahui secara pasti tetapi menurut saya mungkin untuk lebih mudah penyebutannya saja.

Oleh karena itu tidak heran jika orang dari luar Tenggulun khsusunya generasi tua mayoritas masih menyebut Tenggulun dengan nama Trenggulun.

Tenggulun merupakan desa yang sangat indah dan menawan pada tahun sebelum 1970-an, desa yang dipenuhi oleh suara kicauan beranekaragam burung yang menjadikan pendudukanya terasa terhibur denganpenuh kedamaian, desa yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar serta daun yang berwarna-warni. Di sebelah rumah saya kurang lebih 200 meter disitu terdapat semacam hutan kecil, orang Tenggulun sering menyebutnya alas Sentono karena disitu terdapat kawasan kuburan kecil yang sudah lama sekarang sudah tidak pernah dipakai lagi, diantara kuburan tersebut ada satu kuburan yang dikeramatkan dan dibangunkan bangunan diatasnya, kononnya itu adalah kuburan orang sholeh tetapi lucunya tidak ada seorangpun orang Tenggulun yang mengerti sejarahnya –bahkan menurut ayah saya

Mbah Haji Sulaimanpun tidak mengkeramatkan kuburan tersebut-. Kuburan ini sebenarnya sudah tidak ada peminatnya karena penduduk Tenggulun mulai sadar, tetapi dengan diangkatnya pak Maskun menjadi kepala desa, mulailah hal ini dibesar-besarkan lagi dan kadang-kadang dengan menyembelih sembelihan di sana, memang beginilah perangai penyembah kubur, dimana-mana sama saja.

Sudah berkali-kali ada orang yang berusaha untuk menghapuskan bentuk perbuatan syirik yang tidak disadari ini, tetapi hasilnya belum seberapa sebagaimana yang diharpkan, memang untuk melaksanakan Nahi Mungkar tidak cukup dengan mulut belaka, tetapi juga harus dengan kekuatan, mudah-mudahan mereka diberikan hidayah oleh Allah swt dan segera meninggalkan perbuatan dosa besar tersebut.

Hutan kecil “Sentono” pada masa-masa dahulu sungguh indah , banyak pohonnya yang tinggi-tinggi lagi besar, pohon-pohon tersebut setiap harinya dipenuhi oleh beribu-ribu keluang atau kalong (binatang sejenis kelelawar tetapi lebih besar), sementara di bawah pohon ini sebelah selatannya ada sumber air dan tempat pemandian yang bersih, sumber airnya begitu lancar dan lagi terlihat dari atas batu-batu yang indah dan beribu-ribu ekor ikan yang berenang melambai-lambaikan sirip dan ekornya kesana-kemari keadaan ini menjadikan orang yang memandanngya menjadi semakin suka dan bertambah senang, diatas kolam-kolam air itu terdapat pohon beraneka ragam seperti pohon beringin yang setiap harinya dipenuhi oleh burung-burung hijau, orang Tenggulun menyebutnya sebagai burung Johan atau Punai -Subhanallah- pokoknya serba indah.

Di bawah pohon-pohon besar itu terdapat seribu satu bentuk serangga dari yang tidak berbisa sampai yang berbahaya seperti kalajengking, ketonggeng, lipan, ular dan lain sebagainya, bentuk-bentuk buah-buahannya bermacam-macam tetapi bukan untuk dimakan manusia, mungkin memang Allah swt menciptakan untuk dimakan binatang –wallahu a.lam- tetapi orang yang sedang di hutan bisa makan buah-buahan beraneka rasa tersebut, mulai dari yang memabukkan dan beracun sampai yang manis dan lezat yang rasanya seperti kledong buah pohon putri , ciplukan, jenang, bogo dan sebagainya, jenis semak dan rumputnya bermacam-macam dari yang bermanfaat sampai yang membawa madhorot seperti rawe, kemado dan sebagainya. Dari tempat inilah saya mendapat banyak pelajaran, pengalaman dan bekal-bekal kehidupan dari yang bersifat keyakinan sampai yang bersifat keterampilan.

Ketika saya masih usia SD, minimal saya berada di tempat ini dua kali setiap hari kecuali jika ada uzur, kadang-kadang duduk di bawah pohon yang tertutup dengan semak-semak selama 1-3 jam, seorang diri hanya untuk mengantar burung-burung dan binatang berseliweran kesana-kemari, tempatnya memang menyeramkan tidak setiap orang berani, disamping banyak serangga yang berbahaya, sudah menjadi

keyakinan orang Tenggulun bahwa disitu adalah tempat makhluk-makhluk halus, tetapi entah bagi saya waktu itu rasanya sangat mengasyikkan, mungkin ibaratnya seperti anak-anak sekarang sewaktu nongkrong di depan kotak yahudi (TV), begitulah kira-kira sebab saya berada berjam-jam di situ, sampai terjadi pada suatu hari saya mendengar suara kera berteriak-teriak dari kejauhan di tempat itu, sayapun tidak mau menyia-nyiakan adanya suara tersebut, saya langsung lari menghampirinya dan memastikan apa yang terjadi pada kera-kera itu, kebetulan ada seekor kera betina yang sedang menggendong anaknya yang masih merah (kecil), tetapi heran kenapa semakin saya dekati, kera tersebut malah semakin mendekati saya, padahal biasanya takut pada orang apalagi ketika membawa anak yang masih kecil (keadaan seperti itu tak mungkin seberani ini-demikian pikir saya-). Antara was-was dan berani saya mengira anaknya mau diberikan kepada saya, begitu semakin mendekati saya dengan melompat kesana-kemari kira-kira 3 meter, sayapun bergerak dan bergeser ke kaanan dan ke kiri, kedepan dan kebelakang ternyata kaki saya bersentuhan dengan badan ular Tritis Kajang (sejenis ular sawa tetapi agak buas), besar sekali kira-kira panjanngya 5 meter, karena waktu itu saya sendirian tidak ada orang lain, sayapun terperanjat dan lari ketakutan akhirnya saya panggilkan orang yang biasa menangkap ular, kemudian ditangkaplah ular itu beramai-ramai.

Dan masih banyak lagi cerita-cerita yang lain di tempat ini, mungkin sebagiannya nanti akan disampaikan pada kolom pengalaman. Kini hutan kecil yang indah itu sudah hilang keindahannya, sejuta burung dan kalongpun tidak tersisa, serangga habis punah, sumber airnya pun hampir macet, pohon-pohon tinggi sudah ditumbangkan yang nampak dan yang terlihat tinggal gersanngya, beginilah akibat perbuatan tangan-tangan manusia yang jahil.

 

maaf atas kelewatan. sibuk sikit. InsyaAllah next week macam biasa.

No comments:

Post a Comment